Pada masa lalu, kehidupan suku-suku Dayak yang
berdiam di pedalaman Kalimantan itu hidup secara berkelompok-kelompok.
Di mana kehidupan yang mereka jalani pasti dilalui bersama, hal itu
terwujud dalam sebuah karya yaitu, Huma Betang (Rumah Betang).
Betang memiliki keunikan tersendiri dapat diamati
dari bentuknya yang memanjang serta terdapat hanya terdapat sebuah
tangga dan pintu masuk ke dalam Betang. Tangga sebagai alat penghubung
pada Betang dinamakan hejot. Betang yang dibangun tinggi dari
permukaan tanah dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan
para penghuni Betang, seperti menghindari musuh yang dapat datang
tiba-tiba, binatang buas, ataupun banjir yang terkadang melanda Betang.
Hampir semua Betang dapat ditemui di pinggiran sungai-sungai besar yang
ada di Kalimantan.
katingankab.go.id/ktg/images/foto/pariwisata4.jpg
Betang dibangun biasanya berukuran besar, panjangnya
dapat mencapai 30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30
meter, memiliki tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter. Betang di bangun
menggunakan bahan kayu yang berkualitas tinggi, yaitu kayu ulin (Eusideroxylon zwageri T et B), selain memiliki kekuatan yang bisa berdiri sampai dengan ratusan tahun serta anti rayap.
Betang biasanya dihuni oleh 100-150 jiwa di dalamnya,
sudah dapat dipastikan suasana yang ada di dalamnya. Betang dapat
dikatakan sebagai rumah suku, karena selain di dalamnya terdapat satu
keluarga besar yang menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh seorang Pambakas Lewu. Di dalam betang terbagi menjadi beberapa ruangan yang dihuni oleh setiap keluarga.
Pada halaman depan Betang biasanya terdapat balai
sebagai tempat menerima tamu maupun sebagai tempat pertemuan adat. Pada
halaman depan Betang selain terdapat balai juga dapat dijumpai sapundu.
Sapundu merupakan sebuah patung atau totem yang pada umumnya berbentuk
manusia yang memiliki ukiran-ukiran yang khas. Sapundu memiliki fungsi
sebagai tempat untuk mengikatkan binatang-binatang yang akan dikorbankan
untuk prosesi upacara adat. Terkadang terdapat juga patahu di halaman Betang yang berfungsi sebagai rumah pemujaan.
Pada bagian belakang dari Betang dapat ditemukan sebuah balai yang berukuran kecil yang dinamakan tukau yang digunakan sebagai gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian, seperti lisung atau halu. Pada Betang juga terdapat sebuah tempat yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan senjata, tempat itu biasa disebut bawong.
Pada bagian depan atau bagian belakang Betang biasanya terdapat pula
sandung. Sandung adalah sebuah tempat penyimpanan tulang-tulang keluarga
yang sudah meninggal serta telah melewati proses upacara tiwah.
Salah satu kebiasaan suku Dayak adalah memelihara
hewan, seperti anjing, burung, kucing, babi, atau sapi. Selain karena
ingin merawat anjing, suku Dayak juga sangat membutuhkan peran anjing
sebagai ‘teman’ yang setia pada saat berburu di hutan belanntara. Pada
zaman yang telah lalu suku Dayak tidak pernah mau memakan daging anjing,
karena suku Dayak sudah menganggap anjing sebagai pendamping setia yang
selalu menemani khususnya ketika berada di hutan. Karena sudah
menganggap anjing sebagai bagian dari suku Dayak, anjing juga diberi
nama layaknya manusia.
Sangat patut disayangkan seiring dengan modernisasi
bangunan-bangunan masa sekarang, Betang kini hampir di ujung kepunahan,
padahal Betang merupakan salah satu bentuk semangat serta perwujudan
dari sebuah kebersamaan suku Dayak. Mungkin nanti Betang akan
benar-benar punah tetapi merupakan tanggung jawab kita kepada leluhur
untuk tetap mempertahankan semangat Huma Betang. Patut kita sadari di
dalam diri ini pasti terdapat rasa untuk tetap memperjuangkan kebudayaan
dari leluhur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar